Pelatihan Bantuan Hukum LBH Papua
Bantuan Hukum adalah program pemerintah dalam rangka memberikan akses bantuan hukum kepada masyarakat miskin, terselenggaranya program bantuan hukum merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap pemberian bantuan .
Manuver Negara Mengubur Fakta Seputar Kematian Munir
Kamis, 16 Februari 2017 merupakan hari yang teramat kelam bagi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi di Indonesia. Pada hari ini, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) yang menyidangkan perkara No. 3/G/KI/2016/PTUN-JKT mengabulkan keberatan dari Kementerian Sekretariat Negara RI (Kemensetneg).
Penghargaan Bantuan Hukum
Penghargaan Bantuan Hukum Ini Diberikan Oleh Kementrian Hukum Dan HAM, Dalam Hal Ini Diwakilkan Oleh Kanwil Hukum Dan HAM Papua Atas Dedikasi LBH Papua Dalam Memberikan Bantuan Hukum Struktural Kepada Masyarakat Papua.
Press Release LBH Papua
Pada tanggal 10 Desember mendatang akan diperingati Hari HAM Se-Dunia, akan tetapi apa yang terjadi saat ini justru berbanding tebalih dan jauh dari nilai-nilai HAM itu sendiri. Kasus yang terjadi di Nabire beberapa hari yang lalu memperlihatkan betapa masih lemahnya pemenuhan HAM oleh negara sebagai penyelenggara pemerintahan.
Jumat, 04 Desember 2015
Press Release LBH Papua
Minggu, 28 Juni 2015
Membantu Dalam Serba Kekurangan
Index Pembangunan SDM Di Kawasan Perbatasan RI |
Rabu, 17 Juni 2015
Kasus Penyerangan Komplek Organda, Dua Orang Tewas
Pelatihan Bantuan Hukum LBH Papua
Senin, 08 Juni 2015
Strategi Advokasi Gerakan Buruh
Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa dalam sejarah gerakan buruh telah mewarnai dinamika peradaban manusia. Bahkan gerakan buruh menjadi bagian integral dari kekuatan sosial progresif yang berperan aktif dalam merubah orientasi kebijakan politik, ekonomi, dan sosial negara. Dalam pandangan Antonio Gramsci, ketertindasan kelas buruh harus dilawan dengan kontra-hegemoni dengan melawan perang disemua lini terhadap kelas borjuis yang melakukan hegemoni. Kelas buruh harus mengartikulasikan kepentingan sektoralnya menjadi kepentinga umum dan merealisasikannya dalam kepemimpinan mordal dan politik. Contohnya adalah dalam akhir-akhir ini kita melihat gerakan buruh menjadi motor utama dalam perjuangan membentuk dan mengawal sistem jaminan sosial.
Rabu, 03 Juni 2015
Bila Kalah Praperadilan, KPK Tetap Bisa Usut Kasus BG
Juru Bicara SPR Habiburokhman mengatakan, dalam waktu yang tidak lama KPK bisa kembali menetapkan status tersangka kepada Budi Gunawan dengan terlebih dahulu memperbaiki prosedur yang dilakukan dengan memenuhi ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sebelumnya dianggap dilanggar oleh hakim praperadilan.
Menurutnya, hal itu nyaris sama pernah dilakukan oleh Polda Riau yang kalah dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Rokan Hilir dari pemohon Awi Tongseng pada Mei 2014. Meski Awi Tongseng sempat dibebaskan dari tahanan, namun Polda Riau tetap melanjutkan kasus keterangan palsu yang menjeratnya.
“Alasan yang digunakan Polda Riau waktu itu adalah PN Rohil hanya membuat putusan bebas dari tahanan Polda saja, bukan bebas putusan bebas dari tuntutan pasal 242 KUHP (keterangan palsu),” kata Habiburokhman, dalam keterangan pers.
Dia melanjutkan, yang diperlukan oleh KPK untuk kembali menetapkan status tersangka hanya adanya bukti permulaan sebagaimana diatur Pasal 1 angka 14 KUHAP yang berbunyi,“tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana“.
“Karena KUHAP tidak menyebut berapa jumlah bukti permulaan, maka satu bukti pun jika sudah dirasa cukup kuat dapat digunakan oleh KPK,” ujar Habiburokhman.
Menurutnya, sejak awal upaya praperadilan tersebut terlihat aneh, yaitu mempersoalkan penetapan status tersangka. Penetapan seseorang menjadi tersangka adalah domain dari persidangan pokok perkara karena menyangkut kuat atau tidaknya alat bukti. Sementara persidangan praperadilan memang didesain hanya untuk memeriksa aspek-aspek formil prosedural.
Habiburokhman mengingatkan bahwa KUHAP mengatur Hakim Pokok Perkara berjumlah minimal tiga orang dengan waktu sidang bisa berbulan-bulan, sementara hakim praperadilan hanya satu orang dan waktu persidangan praperadilan hanya 7 hari, sebab yang diperiksa di sidang praperadilan jauh lebih ringan.
Dia berharap terlepas apapun putusan hakim praperadilan, kasus rekening gendut dapat terus diusut sampai tuntas. Menurutnya, baik KPK yang mewakili negara dan publik maupun Budi Gunawan selaku warga negara akan sama-sama diuntungkan jika pokok perkara kasus ini benar-benar dapat disidangkan dan masalah rekening gendut dibuat terang benderang.
“Kedua belah pihak akan punya waktu dan kesempatan yang cukup untuk mempertahankan pendapat masing-masing,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 19 Januari 2015, PN Jakarta Selatan menerima pendaftaran perkara permohonan praperadilan mengenai penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka KPK yang diajukan oleh Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LPPPI).
Selain itu, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) mengajukan permohonan praperadilan kepada KPK terkait penetapan status tersangka Budi Gunawan atas kasus gratifikasi. Kadivhumas Polri Irjen Pol Ronny F. Sompie mengatakan, permohonan ini merupakan pembelaan terhadap anggota Polri yang terkena kasus hukum.
Gratifikasi Sex, Modus Baru Para Koruptor
Hukum positif Indonesia sebenarnya menganut gratifikasi dalam arti luas. Ia meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Tidak jadi soal apakah pemberian itu dilakukan di Indonesia atau di luar negeri, melalui sarana elektronik atau bukan. Inilah pengertian dan bentuk-bentuk gratifikasi yang disebut dalam Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999juncto UU No. 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 12B ayat (1) merumuskan tindak pidananya: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”. Jika nilainya 10 juta atau lebih berlaku pembuktian oleh penerima gratifikasi. Sebaliknya, jika nilainya kurang dari 10 juta dibuktikan oleh penuntut umum.
Dari rumusan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tipikor jelas bahwa tidak semua pemberian hadiah atau gratifikasi dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Agar menjadi pidana, maka penerima gratifikasi itu harus pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan pemberian gratifikasi itu berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan pihak yang menerima.
Mengenai bentuk-bentuk gratifikasi telah disebut dalam Penjelasan Pasal 12B tadi. Eksplisit tak ada jasa layanan seks disebut. Cuma ada frasa ‘fasilitas lainnya’. UU Pemberantasan Tipikor tak memberikan penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ‘fasilitas lainnya’.Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan KPK juga yang mengurai lebih lanjut makna dan cakupan ‘fasilitas lainnya’.
Di beberapa lembaga negara, peraturan pengendalian gratifikasi juga tak mengatur lebih lanjut jenis atau bentuk gratifikasi ‘fasilitas lainnya’. Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.01/2015 Tahun 2015 tentang Pendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan, misalnya, hanya menguraikan jenis-jenis pemberian yang menekankan pada barang, dan tak menyingging fasilitas lainnya.
Meskipun belum pernah dipakai secara langsung oleh penuntut umum di KPK, misalnya, peluang untuk menjerat pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan gratifikasi seksual tetap ada. “Sangat mungkin,” kata peneliti sekaligus anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, M. Nurul Irfan juga berpendapat frasa ‘fasilitas lainnya’ bisa dijadikan pintu masuk menjerat orang-orang yang menerima layanan seksual. Tetapi tetap harus memenuhi unsur Pasal 12B tadi, misalnya si penerima layanan seks harus pegawai negeri atau penyelenggara negara. “Bisa melalui perangkat itu kalau mau diarahkan,” kata penulis buku Gratifikasi & Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam (2014) itu kepada hukumonline.
Dalam buku ini Irfan menganalisis kemungkinan pelayanan khusus syahwat sebagai gratifikasi (risywah)kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam konteks pidana Islam, pelayanan syahwat termasuk ke dalam ranah jarimah takzir(bentuk kejahatan dan hukumannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang).
Pada dasarnya, gratifikasi syahwat sangat dekat dengan tindak pidana permukahan (overspel)jika salah satu atau kedua pelaku sudah menikah. Namun pidana perzinahan menurut Pasal 284 KUHPberbasis pada pengaduan suami atau isteri. Bagaimana kalau pegawai negeri yang menerima layanan seks dan pemberi layanan sama-sama belum menikah? Jerat permukahan tentu tak bisa digunakan.
Dalam RUU KUHP, pengadu atas perbuatan mukah –misalnya dalam bentuk gratifikasi seks—kemungkinan diperluas. Pihak ketiga yang merasa dirugikan atas perbuatan layanan syahwat itu bisa mengadu ke polisi. Cuma, membuktikan laporan pihak ketiga juga tak mudah. Bisa-bisa pihak ketiga yang melapor justru dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Apalagi jika pegawai negeri atau pejabat negara yang dilaporkan mendapatkan layanan seksual itu punya jabatan tinggi dan berpengaruh.
Irfan berharap RUU KUHP bisa memuat aturan yang lebih komprehensif mengenai praktek prostitusi. Kalau perlu dibuat undang-undang khusus, yang antara lain mengatur lokalisasi. Selama ini, KUHP belum bisa menjerat orang-orang yang terlibat dalam praktek prostitusi.Pasal 296 KUHP, misalnya, hanya menjerat muncikari. Sedangkan orang yang mendapat layanan seks bisa melenggang bebas.
Pembuktian
Membuktikan gratifikasi seks memang tidak mudah kecuali tertangkap tangan. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Susanto Ginting, mengatakan pembuktian gratifikasi seks agak berbeda dengan bentuk gratifikasi lainnya. Gratifikasi lain seperti perjalanan wisata, bisa dibuktikan dengan bukti tertulis tiket atau penginapan. Gratifikasi seks mungkin bisa dibuktikan dengan mudah jika orang yang memberikan layanan seks kepada pejabat mengaku, didukung pula bukti hubungan komunikasi.
Tetapi jika kembali mengacu pada rumusan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor, pembuktian gratifikasi seks bisa sulit. Jika nilai gratifikasi 10 juta atau lebih dibuktikan oleh penerima gratifikasi, dan jika di bawah 10 juta rupiah dibuktikan oleh penuntut umum. Bagaimana mengukur nilai gratifikasi seks?
Hal lain yang patut diperhatikan adalah tentang waktu dan pelaporan. Penerima gratifikasi harus melaporkan apa yang ia terima dalam waktu tertentu (30 hari). Kalau tidak melapor, ia bisa dipidana. Kalau penerima jasa layanan seks melapor dalam jangka waktu itu, KPK akan menentukan status gratifikasi itu paling lambat 30 hari kemudian. Pasal 12C ayat (3) UU Pemberantasan Tipikor memberi dua opsi kepada KPK: menyatakan gratifikasi itu milik penerima atau milik negara. Apakah mungkin disebut jasa layanan seks atau orang yang memberi layanan seks itu milik penerima layanan?
Dalam sebuah diskusi mengenai gratifikasi seks di Senayan dua tahun lalu, dosen hukum pidana FHUI, Akhiar Salmi, mengatakan membuktikan gratifikasi seks memang terkesan sulit meskipun bukan tak bisa dibuktikan. Yang jelas Akhiar, Miko, dan Emerson setuju layanan seks bisa dikualifikasi sebagai gratifikasi sepanjang memenuhi syarat Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor. Bagaimana pandangan Anda?
Jumat, 29 Mei 2015
9 Alasan Menolak Hukuman Mati Di Indonesia