Pelatihan Bantuan Hukum LBH Papua

Bantuan Hukum adalah program pemerintah dalam rangka memberikan akses bantuan hukum kepada masyarakat miskin, terselenggaranya program bantuan hukum merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap pemberian bantuan .

Manuver Negara Mengubur Fakta Seputar Kematian Munir

Kamis, 16 Februari 2017 merupakan hari yang teramat kelam bagi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi di Indonesia. Pada hari ini, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) yang menyidangkan perkara No. 3/G/KI/2016/PTUN-JKT mengabulkan keberatan dari Kementerian Sekretariat Negara RI (Kemensetneg).

Bantuan Hukum Bukan Hak Yang Diberi

Penghargaan Bantuan Hukum

Penghargaan Bantuan Hukum Ini Diberikan Oleh Kementrian Hukum Dan HAM, Dalam Hal Ini Diwakilkan Oleh Kanwil Hukum Dan HAM Papua Atas Dedikasi LBH Papua Dalam Memberikan Bantuan Hukum Struktural Kepada Masyarakat Papua.

Press Release LBH Papua

Pada tanggal 10 Desember mendatang akan diperingati Hari HAM Se-Dunia, akan tetapi apa yang terjadi saat ini justru berbanding tebalih dan jauh dari nilai-nilai HAM itu sendiri. Kasus yang terjadi di Nabire beberapa hari yang lalu memperlihatkan betapa masih lemahnya pemenuhan HAM oleh negara sebagai penyelenggara pemerintahan.

Stop Human Right Violations In Papua

Jumat, 04 Desember 2015

Press Release LBH Papua

"Hentikan Pemukulan dan Penangkapan Terhadap Masyarakat Nabire"

Pada tanggal 10 Desember mendatang akan diperingati Hari HAM Se-Dunia, akan tetapi apa yang terjadi saat ini justru berbanding tebalih dan jauh dari nilai-nilai HAM itu sendiri. Kasus yang terjadi di Nabire beberapa hari yang lalu memperlihatkan betapa masih lemahnya pemenuhan HAM oleh negara sebagai penyelenggara pemerintahan.
Kami dari LBH Papua sangat menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian Resor Nabire yang melakukan penangkapan dan aksi kekerasan terhadap warga di  Taman Bunga Oyehe Nabire Papua pada pukul 10.30 Wit Selasa 1 Desember 2015. Penangkapan itu sendiri terjadi pada saat masyarkat yang hendak berkumpul untuk melakukan ibadah justru menjadi korban pemukulan oleh aparat Kepolisian Resor Nabire tanpa tau apa kesalahannya. 
LBH Papua menilai, bahwa tindakan yang dilakukan aparat Kepolisian Resor Nabire telah melanggar nilai-nilai universal HAM dan juga bertentangan dengan semangat UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) dimana “Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-Tiap Penduduk Untuk Memeluk Agamanya Masing-Masing dan Untuk Beribadat Menurut Agamanya dan Kepercayaannya” .
Menurut pandangan kami, penangkapan dapat dilakukan apabila terdapat tindak pidana yang dilakukan atau tertangkap tangan yang diduga dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, ketika pihak kepolisian melakukan penangkapan maka harus menunjukkan surat tugas dan surat penangkapan, proses penangkapan tersebut tidak sesuai dengan prosedural yang diatur dalam KUHAP. 
Maka dengan ini LBH Papua mendesak agar pihak Kepolisian Resor Nabire mengeluarkan para korban yang hendak ditangkap dalam melakukan proses ibadah, dan mendesak agar pelaku pemukulan dapat diproses secara hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.                                            

Jayapura, 1 Desember 2015

Hormat Kami,                        
Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua)

Minggu, 28 Juni 2015

Membantu Dalam Serba Kekurangan

Index Pembangunan SDM Di Kawasan Perbatasan RI
Ketika negara terseok-seok mengurus warga di batas-batas negeri, muncul sosok-sosok yang mengulurkan tangan. Mereka tidak banak bicara, mereka bekerja dan berusaha memberi makna bagi sekitarnya.

Potensi wilayah-wilayah terluar Indonesia tidak bisa dianggap sepele, hal inilah yang seharusnya menjadi fokus pemerintahan, sebab apabila tidak dikelola dengan baik maka yang akan mengelolanya kemungkinan adalah negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Kita bisa menarik pelajaran-pelajaran yang selama ini terjaadi, dimana wilayah-wilayah yang tidak terjamah oleh perhatian pemerintah pusat justru mendapat perhatian serius dari negara tetangga yang memanfaatkan potensi itu dalam berbagai sektor guna menunjang perekonomian negara mereka. Tentu kita masih ingat kasus perebutan pulau Sipadan dan Likitan, dimana pulau itu berhail dimiliki Malaysia akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap kondisi pulau-pulau terluar Indonesia ini. Sangat mencengangkan memang, masyarakat yang seharusnya hidup dari kebutuhan bangsa sendiri harus menggantungkan kehidupan mereka dari negara tetangga. Akibatnya dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari mereka cenderung lebih memilih bergantung pada negara tetangga karena mereka menilai harga barang yang mereka beli lebih murah ketimbang dinegara sendiri.

Pendampingan

Harus ada pendampinagan yang intens dalam menyelesaikan permasalahan ini. Optimisme tentang Indonesia sering ditemukan dalam berbagai kesederhanaan masyarakat negeri ini.

Rabu, 17 Juni 2015

Kasus Penyerangan Komplek Organda, Dua Orang Tewas


Puluhan  orang dari  pegunungan menyerang  warga di komplek Perumahan Organda, Padang Bulan Jayapura, Papua Senin (8/6/2015) sore. Akibatnya dua warga organda tewas dalam serangan tersebut sementara rumah dan sepeda motor para penyerang di bakar warga. Peristiwa penyerangan bermula ketika ketua RT komplek Perumahan Organda, Fredi Lisamahu melaporkan kasus pencurian sepeda motor kepada aparat kepolisian. Dimana pencurian tersebut diduga dilakukan oleh masyarakat pegunungan dan Fredi mengusulkan dibuatkan pos pengamanan lingkungan. Rupanya  hal itu menyebabkan para pelaku penyerangan tersinggung. Tak berapa lama kemudian sekelompok masyarakat pegunungan dengan menggunakan parang dan panah mendatangai Komplek Organda sambil berteriak dan mengancam akan membakar rumah. Kemudian beberapa orang dari kelompok tersebut mendatangi rumah Fredi Lisamahu dan langsung melakukan pengeroyokan  serta penikaman sehingga Fredi Lisamahu tewas di tempat. Massa yang kian brutal kemudian menganiaya dua warga Organda Simon Teluke dan Wandadaya. Kedua korban sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawa Simon Teluke tak bisa diselamatkan. 
Warga Komplek Organda yang tak menerima aksi penyerangan tersebut langsung memburu para pelaku yang sudah melarikan diri kearah gunung.Warga berhasil menangkap satu pelaku yang diduga ikut dalam aksi penyerangan dan penganiayaan. Tak hanya itu warga yang kesal melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar puluhan rumah dan sepeda motor yang di duga milik pelaku."Secara tiba-tiba mereka melakukan penyerangan dan penganiayaan, sehingga menyebabkan dua warga kami tewas," ujar Mahmud Nur, warga Komplek Organda. Sementara Kapolresta Kota Jayapura AKBP Jeremias Rontini meminta kepada warga Organda untuk tenang dan kepada para pelaku agar segera menyerahkan diri. (LBH Papua)


Pelatihan Bantuan Hukum LBH Papua


Bantuan Hukum adalah program pemerintah dalam rangka memberikan akses bantuan hukum kepada masyarakat miskin, terselenggaranya program bantuan hukum merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Bentuk tanggung jawab pemerintah dilakukan dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
Gerakan Bantuan hukum diberikan kepada masyarakat yang mengalami masalah hukum. Gerakan Bantuan Hukum diberikan oleh LBH Papua kepada masyarakat miskin dalam bentuk penanganan perkara litigasi maupun non-litigasi. Penanganan perkara dalam bentuk litigasi meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk penerima bantuan hukum di dalam Pengadilan, sedangkan pemberian bantuan hukum dalam bentuk non-litigasi merupakan suatu kegiatan berupa pemberdayaan hukum, penelitian hukum, penyuluhan hukum, mediasi, negosiasi, pendampingan di luar pengadilan, dan drafting dokumen hukum, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman, pengetahuan, dan kesadaran hukum, dan sekaligus mengkampanyekan Program Bantuan Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

Terselenggaranya bantuan hukum kepada masyarakat miskin di Papua berkat kerjasama antara Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Ham, serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua yang telah terverifikasi sebagai pemberi bantuan hukum kepada masyarakat miskin dalam bentuk non-litigasi maupun litigasi. Gerakan pemberian bantuan hukum non-litigasi telah dilakukan oleh LBH Papua dengan menyelenggarakan Kegiatan Pemberdayaan Hukum Kepada Masyarakat Miskin di Provinsi Papua selama 6 (enam) hari mulai tanggal 25 – 30 Mei 2015 dengan tujuan membuka akses keadilan kepada masyarakat miskin, dan sekaligus mengkampanyekan Program Bantuan Hukum. (LBH Papua)

Senin, 08 Juni 2015

Strategi Advokasi Gerakan Buruh



Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa dalam sejarah gerakan buruh telah mewarnai dinamika peradaban manusia. Bahkan gerakan buruh menjadi bagian integral dari kekuatan sosial progresif yang berperan aktif dalam merubah orientasi kebijakan politik, ekonomi, dan sosial negara. Dalam pandangan Antonio Gramsci, ketertindasan kelas buruh harus dilawan dengan kontra-hegemoni dengan melawan perang disemua lini terhadap kelas borjuis yang melakukan hegemoni. Kelas buruh harus mengartikulasikan kepentingan sektoralnya menjadi kepentinga umum dan merealisasikannya dalam kepemimpinan mordal dan politik. Contohnya adalah dalam akhir-akhir ini kita melihat gerakan buruh menjadi motor utama dalam perjuangan membentuk dan mengawal sistem jaminan sosial.
Gerakan buruh sendiri dapat diartikan sebagai perjuangan dari kelas pekerja yang sadar dengan sekumpulan ide, gagasan, sistem nilai dalam memperjuangkan kepentingan kelas pekerja dan nilai-nilai universal, baik itu keadilan, kebebasan dan kesejahteraan. Oleh karena itu sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kesadaran, sudah tentu gerakan buruh dapat melihat dan merasakan tata struktur masyarakat yang tidak adil.
Dalam tata struktur masyarakat yang bersifat kapitalisme, ada ruang gelap penindasan yang dilanggengkan oleh kelas berkuasa (the rulling class) terhadap kelas tertindas (the oppressed class). Masyarakat Kapitalisme membentuk arsitektur eksploitasi menjadi penghisapan tenaga kerja buruh untuk keuntungan ekonomi dalam hubungan produksi. Dalam masyarakat kapitalis, motivasi dan tujuan utama dari sistem masyarakat ini adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan merupakan motif utama para kapitalis untuk menjalankan roda ekonomi. Sebaliknya, menurunnya tingkat keuntungan akan membuat para kapitalis enggan berinvestasi, karena tingkat akumulasi menurun dan ujung-ujungnya mengirim ekonomi kapitalis ke dalam krisis. Keuntungan kelas kapitalis diperoleh dengan membeli tenaga buruh dengan harga murah untuk menekan biaya produksi dan menjual hasil produksi dengan harga mahal (akumulasi modal).
Kelas borjuis yang memiliki kapital (tanah, pabrik dan mesin) merantai kelas buruh di dalam hubungan produksi. Secara realitas penindasan dilakukan kelas borjuis dengan mengkebiri hak-hak pekerja baik itu upah, jam kerja dan akses terhadap pendidikan. Oleh karena itu, gerakan buruh sebagai kekuatan yang sadar akan penindasan ini harus melakukan perlawanan.
Dalam gerakan buruh, berserikat menjadi modal utama kekuatan buruh dalam melakukan langkah-langkah perlawanan dan perjuangan. Serikat buruh terbentuk untuk mewakili pembelaan dan mensejahterakan anggotanya. Serikat pekerja juga menjadi tempat kawah candradimuka kaderisasi kelas pekerja yang mampu merumuskan kebutuhan gerakan saat ini, baik kebutuhan internal organisasi ataupun permasalahan-permasalahan di luar organisasi. Buruh yang berserikat akan lebih optimal dalam memperjuangkan hak-hak nya daripada berjuang sendiri-sendiri karena kekuatan kelas pekerja terletak pada jumlahnya yang besar. Jika para buruh bersatu dalam serikat buruh, maka posisi tawar buruh akan lebih besar jika berhadapan vis a vis dengan pemilik modal. Tidak ada yang meragukan kekuatan buruh jika mereka bersatu, bahkan negara pun akan gentar melawan nya. Maka Karl Max pernah menyerukan "working men all countries, unite!'" dalam manifesto komunis.
Kebutuhan persatuan kelas pekerja akhir-akhir ini menjadi semakin mendesak melihat semakin terpecah belah nya gerakan buruh dalam berbagai kepentingan. Serikat buruh yang ada saat ini cenderung saling menjatuhkan satu sama lain. Jika hal ini terus dipertahankan, maka gerakan buruh akan semakin mudah dipatahkan karena lagi-lagi, kekuatan buruh itu ada dalam kekuatan persatuannya. Salah satu contoh menarik adalah pemogokan yang dilakukan oleh pekerja pelabuhan di setiap pelabuhan di Australia selama 1 jam pada 7 April 2010. Pemogokan ini dilakukan sebagai bentuk protes atas kematian  Nick Fanos yang tertimpa container di Port Botany. Para pekerja menuntut dilakukan revisi manajemen keselamatan bongkar muat dan membuat undang-undang National Stevedoring Safety Code.
Membangun Strategi Advokasi
Advokasi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan individu, kelompok atau organisasi yang terencana dan teroganisir dalam mempengaruhi kebijakan yang dirasakan merugikan kepentingan individu, kelompok atau organisasi.
Dalam melakukan advokasi, maka gerakan buruh harus membangun sebuah perencanaan yang sistematis dan teroganisir. Dalam melakukan advokasi di bidang perburuhan kebutuhan utama adalah berserikat dan persatuan. Ibarat kendaraan serikat buruh (Vakbond) menjadi mesin dalam advokasi dan persatuan menjadi bahan bakarnya. Serikat buruh dan persatuan  menjadi kekuatan utama gerakan buruh. Buruh yang berjuang sendiri tidak akan memiliki posisi tawar yang kuat dengan pihak pemodal. Di masa saat ini kebebasan berserikat telah dijamin dalam konvensi ILO no 87 (regulasi internasional) dan UU No. 21/2000. Dalam pasal 5 UU No. 21/2000 disebutkan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”.
Pentingnya berserikat dan persatuan adalah langkah awal dalam merumuskan strategi dan taktik advokasi berikutnya. Dalam berserikat, ada lima Hak Serikat Buruh yang merupakan bagian Hak Asasi Manusia, yaitu:
Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi dan kebebasan dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang.
Setiap anggota serikat buruh diberikan jaminan dari penangkapan dan penahanan karena keterlibatannya dalam berorganisasi atau berserikat.
Kebebasan bersuara dan berpendapat dan kebebasan mencari, menerima dan membagikan informasi sesama buruh.
Kebebasan berkumpul
Hak atas sidang yang adil dari peradilan yang mandiri dan tak berpihak (imparsial)
Hak untuk mendapatkan perlindungan atas harta milik (kekayaan) serikat buruh.
Dalam melihat perkembangan dunia saat ini dan meminjam lagi konsep kontra-hegemoni Gramsci, maka serikat buruh harus bersifat terbuka dan bersatu dengan gerakan di bidang lain yaitu, gerakan lingkungan, kaum miskin kota, gerakan HAM dan LSM. Serikat buruh harus membangun front persatuan agar memenangkan dukungan umum dalam memberikan tekanan yang kuat.
Setelah tindakan berserikat dan persatuan terbangun, maka perlu dirumuskan langkah strategis dalam advokasi, yaitu:
Identifikasi masalah. Sebelum melakukan advokasi, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi masalah dengan mengumpulkan semua data dan informasi yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dari data tersebut, kemudian kita melakukan analisis masalah untuk menentukan advokasi apa yang perlu kita lakukan, apakah itu advokasi hukum (perdata atau pidana), advokasi politik dan advokasi media.
Bentuk basis inti/lingkar inti. Basis inti adalah sekumpula orang atau organisasi yang menjadi penggagas dan penggerak utama dalam advokasi. Basis inti biasanya disatukan atas kesamaan visi, misi dan ideologisasi. Organisasi basis inti biasanya dibagi tiga berdasarkan fungsinya
Divisi kerja garis depan (frontline unit) yang melaksanakan fungsi perunding, juru bicara, pelobi, proses membuat kebijakan dan menggalang sekutu
Divisi pendukung (supporting unit) yang bertugas mencari informasi, data, logistik, akses dan dukungan dana.
Divisi penggalangan basis (underground unit) bertugas membangun basis massa, penggalangan dan memobilisasi aksi massa.
Membangun jejaring dalam melakukan advokasi. Kegiatan ini dilakukan dengan membangun koalisi, aliansi atau sekutu dengan berbagai elemen yang sepaham dan mendukung advokasi yang dilakukan, baik itu kalangan akademisi, aktivis, masyarakat, jaringan internasional dan media.
Melakukan tekanan kepada pihak yang berlawanan dengan perjuangan. Sebelum melakukan perlawanan kita harus mengidentifikasi pihak-pihak yang memiliki kepentingan bersebrangan dengan perjuangan kita serta pihak yang mendukung pihak lawan kita. Setelah itu kita harus memobilisasi kekuatan untuk melakukan tekanan-tekanan baik itu berupa penggalangan opini di media massa, demonstrasi hingga pemogokan massal. Tekanan yang dilakukan harus terencana dan terukur sasarannya. Tekanan juga dapat dilakukan dengan teori peluru yang ditembakan secara terus menerus kepada sasaran, hingga kemenangan atau sasaran tercapai. Tekanan juga dapat dilakukan kepada kegiatan penunjang kekuatan pihak lawan. Contoh : kegiatan blokade terhadap pasokan bahan mentah pabrik dimana kita melakukan advokasi atau menggalang dukungan pekerja pasokan bahan mentah untuk bersama melakukan pemogokan.
Evaluasi advokasi. Evaluasi perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana target yang tercapai dan analisis kekuatan yang paling efektif serta hambatan yang di massa yang akan datang harus di atasi.

Rabu, 03 Juni 2015

Bila Kalah Praperadilan, KPK Tetap Bisa Usut Kasus BG

KPK bisa kembali menetapkan BG jadi tersangka dengan terlebih dahulu memperbaiki prosedur sesuai ketentuan KUHAP yang sebelumnya dianggap dilanggar oleh hakim praperadilan.

Serikat Pengacara Rakyat (SPR) berpendapat upaya hukum praperadilan yang diajukan oleh Komjen Pol Budi Gunawan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, hampir dapat dipastikan sia-sia. Meski nantinya permohonan pembatalan penetapan tersangka tersebut dikabulkan hakim, hal itu tidak bisa begitu saja menghentikan penyidikan perkara pokok yang dilakukan oleh KPK, yakni perkara rekening gendut.

Juru Bicara SPR Habiburokhman mengatakan, dalam waktu yang tidak lama KPK bisa kembali menetapkan status tersangka kepada Budi Gunawan dengan terlebih dahulu memperbaiki prosedur yang dilakukan dengan memenuhi ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sebelumnya dianggap dilanggar oleh hakim praperadilan.

Menurutnya, hal itu nyaris sama pernah dilakukan oleh Polda Riau yang kalah dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Rokan Hilir dari pemohon Awi Tongseng pada Mei 2014. Meski Awi Tongseng sempat dibebaskan dari tahanan, namun Polda Riau tetap melanjutkan kasus keterangan palsu yang menjeratnya.

“Alasan yang digunakan Polda Riau waktu itu adalah PN Rohil hanya membuat putusan bebas dari tahanan Polda saja, bukan bebas putusan bebas dari tuntutan pasal 242 KUHP (keterangan palsu),” kata Habiburokhman, dalam keterangan pers.

Dia melanjutkan, yang diperlukan oleh KPK untuk kembali menetapkan status tersangka hanya adanya bukti permulaan sebagaimana diatur Pasal 1 angka 14 KUHAP yang berbunyi,“tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana“.

“Karena KUHAP tidak menyebut berapa jumlah bukti permulaan, maka satu bukti pun jika sudah dirasa cukup kuat dapat digunakan oleh KPK,” ujar Habiburokhman.

Menurutnya, sejak awal upaya praperadilan tersebut terlihat aneh, yaitu mempersoalkan penetapan status tersangka. Penetapan seseorang menjadi tersangka adalah domain dari persidangan pokok perkara karena menyangkut kuat atau tidaknya alat bukti. Sementara persidangan praperadilan memang didesain hanya untuk memeriksa aspek-aspek formil prosedural.

Habiburokhman mengingatkan bahwa KUHAP mengatur Hakim Pokok Perkara berjumlah minimal tiga orang dengan waktu sidang bisa berbulan-bulan, sementara hakim praperadilan hanya satu orang dan waktu persidangan praperadilan hanya 7 hari, sebab yang diperiksa di sidang praperadilan jauh lebih ringan.

Dia berharap terlepas apapun putusan hakim praperadilan, kasus rekening gendut dapat  terus diusut sampai tuntas. Menurutnya, baik KPK yang mewakili negara dan publik maupun Budi Gunawan selaku warga negara akan sama-sama diuntungkan jika pokok perkara kasus ini benar-benar dapat disidangkan dan masalah rekening gendut dibuat terang benderang.

“Kedua belah pihak akan punya waktu dan kesempatan yang cukup untuk mempertahankan pendapat masing-masing,” ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada 19 Januari 2015, PN Jakarta Selatan menerima pendaftaran perkara permohonan praperadilan mengenai penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka KPK yang diajukan oleh Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LPPPI).

Selain itu, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) mengajukan permohonan praperadilan kepada KPK terkait penetapan status tersangka Budi Gunawan atas kasus gratifikasi. Kadivhumas Polri Irjen Pol Ronny F. Sompie mengatakan, permohonan ini merupakan pembelaan terhadap anggota Polri yang terkena kasus hukum.

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54db2ca9f1466/bila-kalah-praperadilan--kpk-tetap-bisa-usut-kasus-bg


Gratifikasi Sex, Modus Baru Para Koruptor


Bisakah jasa layanan seks yang diterima seorang pejabat dikualifikasi sebagai salah satu bentuk gratifikasi? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu dalam kacamata hukum positif Indonesia sebelum memahami betul makna dan hakikat pelarangan gratifikasi. Saat kasus prostitusi artis mencuat ke permukaan, polisi mengeluarkan pernyataan tentang dugaan gratifikasi seks. Isu ini juga pernah muncul dalam proses penanganan perkara korupsi seorang hakim di Bandung beberapa waktu lalu.
 
Hukum positif Indonesia sebenarnya menganut gratifikasi dalam arti luas. Ia meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Tidak jadi soal apakah pemberian itu dilakukan di Indonesia atau di luar negeri, melalui sarana elektronik atau bukan. Inilah pengertian dan bentuk-bentuk gratifikasi yang disebut dalam Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999juncto UU No. 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Pasal 12B ayat (1) merumuskan tindak pidananya: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”. Jika nilainya 10 juta atau lebih berlaku pembuktian oleh penerima gratifikasi. Sebaliknya, jika nilainya kurang dari 10 juta dibuktikan oleh penuntut umum.
 
Dari rumusan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tipikor jelas bahwa tidak semua pemberian hadiah atau gratifikasi dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Agar menjadi pidana, maka penerima gratifikasi itu harus pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan pemberian gratifikasi itu berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan pihak yang menerima.
 
Mengenai bentuk-bentuk gratifikasi telah disebut dalam Penjelasan Pasal 12B tadi. Eksplisit tak ada jasa layanan seks disebut. Cuma ada frasa ‘fasilitas lainnya’. UU Pemberantasan Tipikor tak memberikan penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ‘fasilitas lainnya.Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan KPK juga yang mengurai lebih lanjut makna dan cakupan ‘fasilitas lainnya.
 
Di beberapa lembaga negara, peraturan pengendalian gratifikasi juga tak mengatur lebih lanjut jenis atau bentuk gratifikasi ‘fasilitas lainnya’. Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.01/2015 Tahun 2015 tentang Pendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan, misalnya, hanya menguraikan jenis-jenis pemberian yang menekankan pada barang, dan tak menyingging fasilitas lainnya.
 
Meskipun belum pernah dipakai secara langsung oleh penuntut umum di KPK, misalnya, peluang untuk menjerat pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan gratifikasi seksual tetap ada. “Sangat mungkin,” kata peneliti sekaligus anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho.
 
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, M. Nurul Irfan juga berpendapat frasa ‘fasilitas lainnya’ bisa dijadikan pintu masuk menjerat orang-orang yang menerima layanan seksual. Tetapi tetap harus memenuhi unsur Pasal 12B tadi, misalnya si penerima layanan seks harus pegawai negeri atau penyelenggara negara. “Bisa melalui perangkat itu kalau mau diarahkan,” kata penulis buku Gratifikasi & Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam (2014) itu kepada hukumonline.
 
Dalam buku ini Irfan menganalisis kemungkinan pelayanan khusus syahwat sebagai gratifikasi (risywah)kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam konteks pidana Islam, pelayanan syahwat termasuk ke dalam ranah jarimah takzir(bentuk kejahatan dan hukumannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang).
 
Pada dasarnya, gratifikasi syahwat sangat dekat dengan tindak pidana permukahan (overspel)jika salah satu atau kedua pelaku sudah menikah. Namun pidana perzinahan menurut Pasal 284 KUHPberbasis pada pengaduan suami atau isteri. Bagaimana kalau pegawai negeri yang menerima layanan seks dan pemberi layanan sama-sama belum menikah? Jerat permukahan tentu tak bisa digunakan.
 
Dalam RUU KUHP, pengadu atas perbuatan mukah –misalnya dalam bentuk gratifikasi seks—kemungkinan diperluas. Pihak ketiga yang merasa dirugikan atas perbuatan layanan syahwat itu bisa mengadu ke polisi. Cuma, membuktikan laporan pihak ketiga juga tak mudah. Bisa-bisa pihak ketiga yang melapor justru dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Apalagi jika pegawai negeri atau pejabat negara yang dilaporkan mendapatkan layanan seksual itu punya jabatan tinggi dan berpengaruh.
 
Irfan berharap RUU KUHP bisa memuat aturan yang lebih komprehensif mengenai praktek prostitusi. Kalau perlu dibuat undang-undang khusus, yang antara lain mengatur lokalisasi. Selama ini, KUHP belum bisa menjerat orang-orang yang terlibat dalam praktek prostitusi.Pasal 296 KUHP, misalnya, hanya menjerat muncikari. Sedangkan orang yang mendapat layanan seks bisa melenggang bebas.
 
Pembuktian
Membuktikan gratifikasi seks memang tidak mudah kecuali tertangkap tangan. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Susanto Ginting, mengatakan pembuktian gratifikasi seks agak berbeda dengan bentuk gratifikasi lainnya. Gratifikasi lain seperti perjalanan wisata, bisa dibuktikan dengan bukti tertulis tiket atau penginapan. Gratifikasi seks mungkin bisa dibuktikan dengan mudah jika orang yang memberikan layanan seks kepada pejabat mengaku, didukung pula bukti hubungan komunikasi.
 
Tetapi jika kembali mengacu pada rumusan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor, pembuktian gratifikasi seks bisa sulit. Jika nilai gratifikasi 10 juta atau lebih dibuktikan oleh penerima gratifikasi, dan jika di bawah 10 juta rupiah dibuktikan oleh penuntut umum. Bagaimana mengukur nilai gratifikasi seks?
 
Hal lain yang patut diperhatikan adalah tentang waktu dan pelaporan. Penerima gratifikasi harus melaporkan apa yang ia terima dalam waktu tertentu (30 hari). Kalau tidak melapor, ia bisa dipidana. Kalau penerima jasa layanan seks melapor dalam jangka waktu itu, KPK akan menentukan status gratifikasi itu paling lambat 30 hari kemudian. Pasal 12C ayat (3) UU Pemberantasan Tipikor memberi dua opsi kepada KPK: menyatakan gratifikasi itu milik penerima atau milik negara. Apakah mungkin disebut jasa layanan seks atau orang yang memberi layanan seks itu milik penerima layanan? 

Dalam sebuah diskusi mengenai gratifikasi seks di Senayan dua tahun lalu, dosen hukum pidana FHUI, Akhiar Salmi, mengatakan membuktikan gratifikasi seks memang terkesan sulit meskipun bukan tak bisa dibuktikan. Yang jelas Akhiar, Miko, dan Emerson setuju layanan seks bisa dikualifikasi sebagai gratifikasi sepanjang memenuhi syarat Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor. Bagaimana pandangan Anda?

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55667d2086366/jalan-berliku-menjerat-penerima-gratifikasi-seks

Jumat, 29 Mei 2015

9 Alasan Menolak Hukuman Mati Di Indonesia


Tontonan serial drama penggantungan (the spectacle of the scaffold) diperlihatkan oleh pemerintahan Jokowi-JK dengan pelaksanaan eksekusi terhadap 6 terpidana mati untuk kasus narkoba pada Januari 2015 lalu. Serial ini berlanjut dengan rencana Kejaksanaan Agung untuk melakukan eksekusi terhadap 11 terpidana mati lainnya, dari total 158 terpidana mati yang belum dieksekusi. Padahal sejumlah alasan, baik moral kemanusian, kewajiban hukum internasional, politik hubungan internasional, kewajiban perlindungan warga negara, memperlihatkan tidak lagi relevannya praktik dan ancaman hukuman mati. Dari berbagai alasan tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) setidaknya menyarikan sembilan alasan untuk menolak hukum mati di Indonesia:
Pertama, bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional HAM. Sejumlah ketentuan perundang-undangan nasional, khususnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi, serta UU UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan secara tegas bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12/2005, yang dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan hak hidup adalah suatu hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status kewarganegaraan.
Kedua, hukuman mati salah satu bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Hukum internasional hak asasi manusia, termasuk juga yurisprudensi pengadilan di beberapa negara dan kawasan telah berulangkali menegaskan bahwa praktik eksekusi hukuman mati merupakan suatu tindakan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat seseorang. Oleh karenanya, selain bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR, praktik eksekusi hukuman mati juga bertentangan dengan Kovensi Menentang Penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi Indonesia dalam hukum nasionalnya melalui UU No. 5/1998.
Ketiga, rapuhnya sistem peradilan pidana, sehinggga sangat terbuka peluang kesalahan penghukuman. Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, kesalahan penghukuman (wrongful conviction) menjadi sesuatu yang seringkali tak-terhindarkan dalam praktik hukum pidana.Kombinasi dari kurangnya kontrol peradilan yang efektif, khususnya terhadap panjangnya masa penahanan pra-persidangan, tiadanya suara bulat untuk suatu putusan hukuman mati, kurangnya mekanisme banding yang efektif, serta kebutuhan atas suatu proses peradilan yang fair trial, telah membuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman. Padahal dalam praktik hukuman mati, kesalahan penghukuman tidak mungkin lagi dapat dikoreksi (irreversible).
Keempat, tidak sejalan dengan arah pembaruan hukum pidana. Pemberlakuan pidana mati cenderung menekankan aspek balas dendam (retributive). Padahal di sisi lain, paradigma dalam tatanan hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah keadilan restoratif (restorative justice). Secara formal hal ini seperti mengemuka di dalam UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), maupun penegasan-penegasan rumusan di dalam Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP yang akan segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.
Kelima, efek jera yang ditimbulkan hukuman mati hanya mitos belaka. Menurut pandangan konvensional, hukuman mati dianggap perlu untuk mencegah seseorang agar tidak melakukan kejahatan. Sebaliknya, survey komprehensif yang dilakukan oleh PBB, pada 1988 dan 1996, menemukan fakta tiadanya bukti ilmiah yang menunjukan bahwa eksekusi hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup. Mayoritas panelis dan hadirin pada OHCHR Event on Abolishing the Death Penalty 2012 bahkan mengatakan, alasan efek jera adalah sebagai suatu hal yang dibesar-besarkan selama beberapa dekade terakhir.
Keenam, penderitaan mendalam yang dialami keluarga korban akibat eksekusi. Penderitaan yang dialami dalam pemberian hukuman mati tidak hanya dialami korban atau orang yang dieksekusi semata (terpidana), tetapi juga oleh keluarganya (co-victims). Penderitaan tersebut terjadi dalam beberapa tahapan, mulai dari shock, emosi, depresi dan kesepian, gejala fisik distress, panik, bersalah, permusuhan dan kebencian, ketidakmampuan untuk kembali ke kegiatan biasa, harapan, dan penegasan realitas baru mereka.
Ketujuh, mengancam perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri. Laporan resmi Kementerian Luar Negeri mencatat sedikitnya 229 WNI terancam hukuman mati di luar negeri. Dari jumlah tersebut 131 orang diantaranya terjerat kasus narkotika, dan 77 orang lainnya didakwa kejahatan menghilangkan nyawa. Sikap keras pemerintah Indonesia untuk terus melanjutkan praktik eksekusi hukuman mati, tentu akan berdampak besar dan mempengaruhi upaya advokasi untuk menyelematkan ratusan WNI yang terancam hukuman mati tersebut.
Kedelapan, merugikan Indonesia dalam pergaulan dunia internasional. Dalam kaitannya dengan hubungan bilateral, pelaksanaan eksekusi pidana mati kepada warga negara Brasil dan Belanda mengakibatkan penarikan diri Duta Besar Brasil dan Belanda untuk Indonesia, yang diikuti dengan penundaan penerimaan surat kepercayaan Duta Besar Designate Indonesia untuk Brasil oleh Presiden Brasil. Tidak hanya itu, pemberian predikat “E” – sebagai predikat terburuk – dari Komite HAM PBB juga menjadi bukti konkrit bahwa komunitas internasional memiliki sentimen negatif atas kebijakan pemerintah Indonesia ini.
Kesembilan, kecenderungan internasional yang semakin meninggalkan praktik hukuman mati. Laporan Amnesty International menyebutkan, sampai dengan April 2015, sedikitnya 140 negara telah menerapkan kebijakan abolisionis terhadap hukuman mati, baik secara hukum (de jure) maupun secara praktik (de facto). Sedangkan yang masih menerapkan dan menjalankan praktik hukuman mati, tinggal 55 negara.

Sumber : http://elsam.or.id/9-alasan-menolak-hukuman-mati-di-indonesia/